Oleh: Dr. RM. Armaya Mangkunegara, S.H., M.H. Bergulirnya program Perhutanan Sosial oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehuta...
![]() |
Oleh:
Dr. RM. Armaya Mangkunegara, S.H., M.H.
Bergulirnya
program Perhutanan Sosial oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK) menyisakan permasalahan. Salah satu persoalan yang mengemuka adalah
tumpang tindihnya rezim hukum yang menjadi dasar berlakunya program tersebut.
KLHK berdasarkan Pemen LHK Nomor P.39/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2017
tentang Perhutanan Sosial Di Wilayah Kerja Perum Perhutani (selanjutnya disebut
P.39), gencar melakukan upaya-upaya percepatan
perhutanan sosial khususnya di lingkup kerja Perum Perhutani.
Tercatat,
hingga Juli 2018, sedikitnya
perizinan perhutanan sosial telah mencapai 1,73 Juta hektar.
Capaian ini terbilang cukup signifikan, jika dibandingkan dengan total luasan
hutan Indonesia berdasarkan hasil penafsiran citra satelit Landsat 8 OLI tahun
2016 yang berkisar seluas 95.271,9 juta hektar (50,74% dari total luas daratan
di Indonesia).
PP Vs Permen
Negara melalui amanat Pasal 33 UUD 1945
memberikan penegasan bahwa bumi, air dan segala sesuatu yang ada di dalamnya
dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Frasa ini
menunjukkan bahwa dalam konteks pengelolaan kehutanan memerlukan peran negara
sebagai penguasa sumber daya alam.
Selanjutnya, negara melalui UU Kehutanan
(Pasal 21) menugaskan perusahaan umum kehutanan negara sebagai mandataris
penguasaan atas sumber daya hutan. Salah satu perusahaan umum kehutanan negara
tersebut adalah Perum Perhutani yang secara legitimatif diatur khusus melalui
PP 72 Tahun 2010.
Perum Perhutani memiliki cakupan wilayah
pengelolaan kawasan hutan meliputi Provinsi Jawa
Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Banten, kecuali
hutan konservasi. Adapun landasan pengelolaan yang dilakukan oleh Perum
Perhutani berdasarkan produk hukum berupa Peraturan Pemerintah (PP).
Jika kemudian KLHK dengan produk
hukum berupa Peraturan Menteri (Permen) yang notabene secara hierarkis
berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2011 memiliki kedudukan di bawah PP ‘merampas’
hak pengelolaan oleh Perum Perhutani, sesungguhnya merupakan praktik
penyimpangan pranata sistem hukum. P.39 jelas-jelas mengakuisisi kewenangan
kelola Perum Perhutani melalui Perhutanan Sosial.
Lebih lanjut, menurut ketentuan Pasal 48 ayat (2) huruf a PP 6/2007 jo PP 3/2008 yang pada
pokoknya menyatakan bahwa pada hutan produksi, dilarang memberikan
izin dalam wilayah kerja BUMN bidang kehutanan yang telah mendapat pelimpahan
untuk menyelenggarakan pengelolaan hutan. P.39 yang memberikan izin pengelolaan
hutan melalui perhutanan sosial di wilayah kerja Perum Perhutani senyatanya
bertentangan dengan ketentuan tersebut.
Kondisi
ini tentu tidak bisa dipandang sebelah mata. Apalagi dalam Pasal 28 huruf a UU
18/2013, terdapat ketentuan pidana bagi pejabat yang mengeluarkan izin
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemerintah dalam
hal ini perlu melakukan evaluasi agar tidak terjerumus pada kebijakan yang ‘tidak
adil’ bagi seluruh rakyat Indonesia hanya karena tidak dipenuhinya prosedur
yuridis yang ada.
Maka
menjadi janggal, jika ‘pejabat’ Perum Perhutani yang diakuisisi kewenangan
kelola hutannya lantas ‘diam’ saja melihat tumpang tindihnya aturan yang tidak
sejalan dengan sistem hukum kita tersebut.
Kemampuan Tata Kelola Hutan
Penunjukkan Perum Perhutani oleh negara
sebagai perusahaan yang mengimplementasikan kewenangan tata kelola hutan bukan
tanpa dasar. Tidak semua orang paham tentang manajemen pengelolaan hutan.
Pengelolaan hutan memerlukan keahlian khusus yang tidak sembarang orang
memiliki.
Perum Perhutani dipandang mampu dan paham
mengenai tata kelola hutan yang baik dan benar. Dalam menjalankan tugas dan
fungsinya, Perum Perhutani memiliki dua sisi penting. Sisi pertama, Perum
Perhutani diharapkan mampu memberikan devisa bagi negara dari sektor kehutanan.
Namun di sisi lain, Perum Perhutani dalam mengelola hutan diharapkan
memperhatikan kondisi hutan sebagai penyangga sistem kehidupan.
Basic keilmuan tata kelola hutan menjadi faktor
utama. Jika orientasi yang dimiliki oleh ‘pejabat’ Perum Perhutani hanya
sebatas profit semata, maka sisi keberlangsungan hutan untuk kehidupan tidaklah
optimal berjalan. Maka, improvisasi pemanfaatan sumber daya hutan sepatutnya
dikedepankan. Tidak sebatas mendapat keuntungan dengan proses penebangan.
Melihat realitas bahwa masyarakat yang
tinggal di sekitar hutan mayoritas berada pada taraf ekonomi yang
memprihatinkan. Belum lagi persoalan kualitas sumber daya manusia yang
dimiliki. Jika lantas pengelolaan hutan secara mutlak diserahkan kepada
masyarakat melalui program perhutanan sosial, bukankah justru menjadi berkurang
penguasaan negara atas sumber daya hutan yang merupakan amanat konstitusi?
Seyogianya pemerintah khususnya KLHK segera
melakukan evaluasi penerapan perhutanan sosial. Sebaliknya, KLHK perlu
mengkritisi kebijakan-kebijakan tenurial yang diterapkan oleh Perum Perhutani.
Utamanya, bagaimana Perum Perhutani bisa menempatkan SDM yang menggandeng
bersama masyarakat untuk melakukan perbaikan kualitas dan kondisi hutan.
KOMENTAR