Pentingnya Perlindungan Hukum Bagi Wartawan, Refleksi Cangkrukan PWI Tuban
Sebuah
Catatan Cangkrukan PWI Tuban
MANGKUNEGARA-
‘WAH’, demikian kira-kira kata mewakili ungkapan pelaksanaan Konfercab II PWI
Kabupaten Tuban. Bukan pada tempat dan fasilitasnya. Kemasan acara, topik dan
pesan kegiatan yang sarat makna mungkin tidak terukur dengan sebatas materi dan
keletihan pelaksana.
Meski dilaksanakan di hotel dengan fasilitas berkecukupan,
raut wajah panitia pelaksana tidak bisa dibohongi. Tersurat rasa capek yang
luar biasa, demikian terkaan saya. Sesekali saya perhatikan Ketua PWI Tuban
2018-2021, Mas Pipit Wibawanto yang baru saja dilantik terlihat ‘ngantuk’
berat. Sangat dimaklumi, rangkaian kegiatan Konfercab memang menguras tenaga
dan pikiran.
Rasanya terbayar sudah. Purna acara yang dikemas Workshop
bertajuk “Cangkrukan Media” berjalan lancar tanpa kendala apapun. Antusias
peserta cukup menggambarkan kegiatan yang digagas PWI Tuban tersebut sukses dan
berhikmah besar. Demikian juga bagi saya.
Sengaja, hingga akhir acara tidak bergeser lebih awal. Terus
terang saya tertarik dengan tema yang diangkat. Pun, pemateri juga kredibel
pada bidangnya. Tagline dunia media memang menjadi topik hangat. Apalagi
mendekati musim pesta demokrasi. Banyak sekali dijumpai “label” media, namun
konten tidak berimbang. Menguntungkan satu golongan atau calon tertentu. Bahkan
tidak jarang dijumpai portal tertentu yang hanya berisi tudingan-tudingan tidak
jelas fakta dan datanya. Namun di branding sedemikian rupa sehingga
seolah-oleh perusahaan pers.
Fenomena semacam ini perlu mendapatkan perhatian serius bagi
insan media. Pasalnya, pers mengemban pula fungsi edukasi. Memberikan pemahaman
kepada masyarakat apa dan bagaimana perusahaan pers dalam menjalankan
profesinya. Sebaliknya, masyarakat sangat membutuhkan pengetahuan dasar etik
jurnalistik agar tidak terjebak sebagai agen penyebar berita tidak akurat,
tidak berimbang bahkan bermuatan fitnah pada kalangan tertentu.
Seringkali, kebebasan mengemukakan pendapat menjadi alasan
pembenar. Bahkan disalah-artikan. Citizen Journalism, demikian platform
yang diangkat dan menggeser paradigma media mainstream sebagai sumber
utama rujukan. Menjamurnya ‘media sosial’ yang hampir dapat diakses siapapun
tentu menjadi salah satu aspek penting awak media untuk melakukan validasi atas
segala informasi yang hendak disajikan. Belum lagi tingkat proteksi yang
diberikan oleh perusahaan ‘media sosial’ tidak sepenuhnya dapat menjamin
akurasi masing-masing pemilik akun.
ABC (Accuracy, Balancing and Clear), pedoman
jurnalistik yang pada diskusi disampaikan oleh Mas Imam. Prinsip pokok yang
wajib diemban oleh setiap wartawan kala mengangkat topik konten pemberitaan.
Begitu pula amanat kode etik jurnalistik dan prinsip umum UU 40/1999 (UU Pers).
Catatan saya, pers memegang peran besar dalam menyukseskan
tujuan negara, mencerdaskan kehidupan bangsa. Masyarakat dengan mudah
mengetahui informasi apa pun berkat media. Terlebih dunia digital telah
merambah kalangan segala usia. Jadi, jika dalam dunia advokasi dikenal dengan
istilah officium nobile (profesi yang mulia), kiranya profesi
jurnalistik tidak lah berbeda. Sama-sama menjalankan profesi yang mulia.
Wajar menurut saya, porsi imunitas diberikan pula pada awak
media. Layaknya advokat yang menjalankan profesi untuk kepentingan klien baik
di dalam maupun di luar Pengadilan mendapat perlindungan hukum (Pasal 16 UU
18/2003 jo Putusan MK Nomor 26/PUU-XI/2013), wartawan sepatutnya memperoleh
perlakuan sama.
Legal spirit pembentukan UU Pers tampaknya sudah mulai
memunculkan benih-benih imunitas bagi wartawan. Hal ini terlihat pada ketentuan
Pasal 8 UU Pers yang memberikan jaminan perlindungan hukum bagi wartawan saat
menjalankan profesinya. Meskipun dirumuskan secara umum, setidaknya cukup
memberi dasar bahwa wartawan memiliki kekebalan dalam menjalankan profesinya.
Ke depan, saya berharap ketentuan Pasal 8 UU Pers lebih
dijabarkan secara teknis agar tidak mudah memunculkan penafsiran ganda. Saat
ini, pelaksanaan prinsip imunitas wartawan masih sebatas dibingkai melalui MoU
antara Dewan Pers, Kepolisian, Kejaksaan dan Mahkamah Agung. Manakala terdapat
perkara hukum menyangkut awak media, penyelesaian terlebih dahulu diarahkan
melalui mekanisme Dewan Pers.
Pemberian hak imunitas bagi wartawan merupakan hal penting.
Wartawan tidak jarang berada pada lini terdepan saat melakukan investigasi.
Wartawan dalam hal-hal tertentu juga berperan sebagai kontrol eksternal proses
penegakan hukum. Karenanya, perlindungan hukum bagi wartawan berupa hak
imunitas sepatutnya menjadi skala prioritas.
Hak imunitas wartawan tidak semata-mata diartikan seorang
wartawan kebal hukum. Jika terbukti melakukan pelanggaran terhadap kode etik
jurnalistik, tetap ada proses hukum baginya. Melalui proses internal oleh Dewan
Pers.
Catatan lain, Dewan Pers perlu menerapkan mekanisme kontrol
terhadap pelaksanaan putusan yang telah diambil. Dalam beberapa perkara yang
diproses oleh Dewan Pers, pelaksanaan rekomendasi harus mendapatkan pengawasan.
Hal ini sebagai bentuk profesionalitas dan terjaminnya kepastian hukum bagi
pengadu maupun teradu.
Menyandarkan pada proses hukum umum jika rekomendasi putusan
Dewan Pers tidak dijalankan sebenarnya bukanlah solusi. Justru menampakkan inkonsistensi
pemberian imunitas wartawan dalam menjalankan profesinya. Jika konsisten, maka
perkara menyangkut insan pers, final diselesaikan melalui Dewan Pers.
Secara praktis, penuangan mekanisme beracara melalui UU Pers
setidaknya akan menjadi payung hukum berkaitan kompetensi memeriksa dan
mengadili perkara. Perkara Pers yang belum diproses melalui mekanisme Dewan
Pers namun sudah di-meja hijau-kan harus dianggap premature.
Dewan Pers juga diharapkan mampu menjalin hubungan
multilateral. Kebebasan Pers yang memberitakan lintas negara, tidak menutup
kemungkinan terdapat persoalan. Pencari keadilan tidak perlu harus datang ke
negara tempat memberitakan yang (dianggap) salah, cukup mengadu melalui Dewan
Pers setempat dapat dilakukan proses hukum.
Mas Mahmud, Pemateri yang lain juga menambahkan akan
pentingnya sertifikasi wartawan. Memang, media saat ini tidak jarang menjadi ‘jurus
jitu’ mengubah mindset masyarakat. Termasuk dalam perkara hukum.
Oknum yang mengaku sebagai wartawan namun tidak memiliki
kualifikasi khusus harus ditertibkan agar tidak mencoreng citra media di mata
masyarakat. Lantas bagaimana dengan berita hoax, menyesatkan, atau bahkan
perusahaan berbasis berita yang ‘abal-abal?’ Menurut UU Pers, pemberitaan yang
demikian bukan termasuk kategori konten jurnalistik. Maka, tidaklah
perlindungan hukum UU Pers diberikan padanya.
Sedikit catatan saya sebagai referensi. Sekali
lagi saya mengucapkan selamat kepada pengurus PWI Kabupaten Tuban 2018-2021
yang baru, semoga amanah dan membawa barokah bagi kita semua.
***
Dr. RM. Armaya Mangkunegara, S.H., M.H.
***
Dr. RM. Armaya Mangkunegara, S.H., M.H.
KOMENTAR