Narapidana Koruptor Boleh Mencalonkan Diri Menjadi Anggota Legislatif
MANGKUNEGARA.COM - Tulisan ini merupakan tugas mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum (PIH). Dibuat mandiri oleh mahasiswa dan ditayangkan pada portal mangkunegara.com.
- [message]
- ##check##Ditulis Oleh : Nurul Hidayati
- Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sunan Bonang Tuban Kelas Reguler B
Kali ini saya akan membuat arikel
yang bertema Antinomi kepastian hukum dan keadilan. Dalam menegakkan hukum ada
unsur kepastian hukum dan keadilan, namun dalam prakteknya seringkali tak
seimbang antara kedua unsur tersebut. Pandangan yang menyatakan bahwa terdapat
antinomi antara keadilan dan kepastian hukum umumnya berdasar pada pandangan
bahwa kepastian hukum hanya dapat ditegakkan apabila hukum positif benar-benar
diterapkan. Sedangkan nilai-nilai keadilan tidak hanya memandang hukum positif
saja sebagai dasar penderaan terhadap pihak yang bersalah, melainkan juga
mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai luhur manusia.
Dalam menghadapi antinomy tersebut
peran penerap hukum sangat diperlukan. Peranan tersebut akan terlihat pada saat
penerapan hukum dihadapkan kepada persoalan yang konkret.di situ,penerapan
hukum harus mampu untuk melakukan pilihan mana yang harus dikorbankan,kepastian
hukum ataukah keadilan. Adapun yang menjadi acuan dalam hal ini adalah moral.
Jika kepastian hukum yang di kedepankan,penerapan hukum harus pandai-pandai
memberikan interpretasi terhadap undang-undang yang ada.Tanpa memberikan
interprensi yang tepat,akan berlaku lex dura sed tamen scripta,yang
terjemahanya,’undang-undang memang keras, tetapi mau tidak mau memang demikian
bunyinya’.Sebagai ,mana telah dikemukakan bahwa dalam hal melakukan tindakan
kemanusiaan dan mempunyai kemaslahatan,pemerintahan dalam melakukanya tanpa
perlu adanya aturan atau bahkan mungkin menyimpangi prosedur baku.Dalam hal
demikian kepastian hukum dapat dikorbankan.begitu pula pengadilan,dengan
berlandaskan moral ia dapat putuskan
yang berbeda untuk kasus serupa yang sudah diputus oleh pengadilan terdahulu
jika pengadilan itu menimbang bahwa putusan pengadilan terdahulu tersebut
secara moral perlu diperbaiki.[1]
Dalam menjaga kepastian hukum, peran
pemerintah dan pengadilan sangat penting. Pemerintah tidak boleh menerbitkan
aturan pelaksanaan yang diatur oleh undang-unndang yang bertentangan dengan
undang-undang. Apabila hal itu terjadi, pengadilan harus menyatakan bahwa
perraturan demikian batal demi hokum, artinya dianggap tidak pernah ada
sehingga akibat yangterjadi karena adanya peraturan itu harus dipulihkan
seperti sediakala. Akan tetapi, apabila pemerintah tetap tidak mau mencabut
aturan yang telah dinyataka batal itu, hal itu akan berubah menjadi masalah
politik antara pemerintah dan pembentuk undang-undang. Lebih parah lagi apabila
lembaga perwakilan rakyat sebagai pembentuk undang-undang tidak mempersoalkan
keengganan pemerintah mencabut aturan yang dinyatakan batal oleh pengadilan
tersebut. Sudah barang tentu hal semacam itu tidak memberikan kepasian hokum da
akibanya hokum idak mempunyai daya predikbilitas.[2]
Contohnya seperti praktik hukum di
Negara kita, sesuai dengan putusan MA
yang menyatakan bahwa napi koruptor boleh mencalonkan sebagai anggota
legeslatif, itu merupakan putusan yang menjadikan masyarakat bertanya-tanya
akan kepastian hukum di Indonesia, menurut menteri hukum dan HAM Yasona Laoly
setiap warga Negara memiliki hak yang sama termasuk hak dalam berpolitik,
sesuai dengan ketentuan pasal 43 ayat 1 yang menyatakan bahwa “Setiap warga
negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan
persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan”.
Keputusan tersebut menjadi pro dan
kontra dalam masyarakat karena untuk sebuah pekerjaan yang ringan saja kita
dituntut tidak boleh memiliki cacatan kriminal, bisa dibilang hanya seorang
maling ayam untuk masuk kerja pun susah, karena memiliki catatan kriminal dan
perusahaan takut untuk menerima karena dikhawatirkan akan merugikan perusahaan,
karena dia pernah menjadi seorang maling meskipun hanya maling ayam, namun kali
ini negara menerima atau memberi peluang kepada seorang pencuri uang rakyat
kembali menjadi wakil rakyat, disini terlihat ketidakadilan antara golongan atas dan golongan bawah, jika hak adalah segala sesuatu yang harus di
dapatkan oleh setiap orang yang telah ada sejak lahir bahkan sebelum lahir,
sedangkan penghilangan hak hanya dapat dimungkinkan oleh 2 hal yaitu UU dan
keputusan pengadilan, dan UU dibuat oleh legeslatif dengan adanya keputusan
tersebut terlihat semakin negatif legeslatif dimata masyarakat karena peraturan
yang dibuat menguntungkan legeslatif itu sendiri. Dengan penyimpangan terhadap
aturan yang di buat oleh mereka yang berwenang membuat aturan menyebabkan
adanya ketidak pastian hukum[3].
Menurut ketentuan pasal 23 ayat 1 UU
nomor 39 tahun 1999 tentang HAM
dinyatakan bahwa “Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai
keyakinan politiknya”. Dan para calon anggota legeslatif akan melakukan apa
saja agar mereka bisa dipilih masyarakat. Sulit dibantah bahwa keinginan untuk
berkuasa seringkali menguasai kehidupan individu atau kelompok. Pada kehidupan
individu, dorongan atau kekuasaan menjelma dalam berbagai bentuk bergantung
kepada kualitas dan kapasitas individu tersebut. Dorongan itu dapat saja berupa
keinginan untuk mempunyai kekuasaan politis, kekuasaan finansial atau kekuasaan
intelektual. Dalam kehidupan sosial telah banyak contoh, yaitu ambisi suatu
partai untuk menjadi partai pemerintah disuatu Negara, kekuasaan finansial
suatu grup perusahaan yang menentukan kebijakan politik suatu Negara, kekuasaan
intelektual kaum teknorat yang menentukan kehidupan bernegara.[4]
[post_ads_2]
Dan dalam pemilihan wakil rakyat ini
seringkali terjadi praktik pemberian imbalan berupa uang kepada pemilih, dengan
adanya pemberian imbalan kepada pemilih akan menghilangakan pandangan negatif
masyarakat terhadap calon legeslatif yang notabene seorang narapidana korupsi.
Karena adanya koruptor yang mencuri uang rakyat dampaknya tak langsung
dirasakan oleh rakyat sedangkan pemberian upah untuk memilih akan langsung bisa
dirasakan karna berupa uang tunai.
Disamping itu meskipun zaman sudah
modern tapi masih banyak juga masyarakat yang tertinggal berita, jadi tidak
semua masyarakat mengetahui bahwasannya orang tersebut adalah seorang koruptor,
dan masyarakat awam bahkan tidak tau apa itu korupsi, kadang kala juga banyak
masyarakat yang berpandangan bahwa korupsi itu mencuri uang Negara dan mereka
tak sadar bahwa uang Negara itu adalah uang rakyat.
Didalam pemilu memang KPU memiliki
wewenang memberi tanda pada surat suara, diterangakan bahwa orang tersebut
adalah seorang narapidana korupsi namun semua itu kalah dengan uang imbalan
yang diberikan calon legeslatif kepada pemilih, dengan adanya pemberian imbalan
tersebut menghilangakn atau menghapus azas pemilu yang jujur dan adil.
Kesimpulan
Adanya putusan MA diatas bahwa orang
yang sudah mencuri uang rakyat diberi kekuasaa lagi untuk menjadi wakil rakyat,
menurut saya disini negara tidak benar-benar memberantas korupsi, seharusnya
koruptor benar-benar dimiskinkan dengan cara didenda, dipenjara, dan disita
hartanya agar memberi efek jera pada koruptor, bukan malah di beri kekuasaan
lagi untuk menjadi wakil rakyat, karena seharusnya negara mencari
kandidat-kandidat untuk menjadi wakil rakyat itu adalah seseorang yang baik dan
tidak pernah melanggar hukum, semakin terlihat bahwa hukum di Indonesia itu
tumpul keatas runcing kebawah, kedilan hanya milik mereka yang memiliki uang
dan punya kekuasaan.
[post_ads]
Daftar Bacaan:
[1] Peter Mahmud Marzuki, Antonimi Dalam Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005, h. 139
[2] Peter Mahmud Marzuki, Kepastian hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005, h. 138
[3] Peter Mahmud Marzuki, Kepastian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005, h. 136
Baca Juga
DISCLAIMER:
Konten dari tulisan ini adalah milik mahasiswa yang bersangkutan. Segala sesuatu berkaitan dengan isi tulisan sepenuhnya menjadi otoritas mahasiswa. Penayangan pada website ini juga telah melalui persetujuan dari pihak yang bersangkutan.
KOMENTAR