Sui Generis
MANGKUNEGARA.COM - Tulisan ini merupakan tugas mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum (PIH). Dibuat mandiri oleh mahasiswa dan ditayangkan pada portal mangkunegara.com.
- [message]
- ##check##Ditulis Oleh : Zaka Nasrudin
- Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sunan Bonang Tuban Kelas Reguler A
Ilmu didalam perkembangannya terbagi menjadi berbagai macam jenis keilmuan dengan karakteristiknya masing-masing, ruas ilmu pengetahuan sendiri sebenarnya dibagi menjadi tiga, yaitu Ilmu-ilmu Alamiah, Ilmu-ilmu Sosial, serta Humaniora sehingga dikenal berbagai macam cabang ilmu dari ketiga ruas ilmu tersebut. Salah satu cabang ilmu yang ada adalah ilmu hukum. Ilmu hukum dapat dikatakan sebagai ilmu yang memiliki karakteristik yang berbeda dari ilmu lainnya. Ilmu hukum memiliki cara kerja yang khas dan sistem ilmiah yang berbeda karena memiliki obyek kajian yang juga berbeda.
Ilmu hukum dalam perkembangannya, selalu diperdebatkan keabsahannya sebagai ilmu, baik oleh ilmuwan bidang sosial maupun ilmuwan yang berkecimpung di bidang hukum sendiri. Sifat dari ilmu hukum yang sedemikian rupa menyebabkan ilmu hukum disebut sebagai ilmu dengan karakteristik “Sui Generis”. Sui Generis berasal dari ungkapan Latin, yang secara harfiah diartikan dari jenisnya atau genusnya sendiri. Di bidang hukum istilah sui generis digunakan untuk menyebut jenis jenis aturan hukum yang dibuat secara khusus untuk mengatur suatu hal yang bersifat spesifik atau unik. Kata sui generis ini sering digunakan dalam analisis filsafat untuk menunjukkan ide, entitas, atau suatu realitas yang tidak dapat dimasukkan dalam konsep yang lebih luas. Ilmu hukum sebagai ilmu sui generis dapat di telaah menjadi 4 hal yaitu karakter normatif ilmu hukum, terminologi ilmu hukum, jenis ilmu hukum, dan lapisan ilmu hukum.
Ilmu hukum memiliki karakter yang khas, yaitu sifatnya yang normatif. Ciri yang demikian menyebabkan sementara kalangan yang tidak memahami kepribadian ilmu hukum itu dan meragukan hakekat keilmuan hukum. Keraguan itu disebabkan karena dengan sifat yang normatif ilmu hukum bukanlah ilmu empiris. Memang harus diakui bahwa di sisi lain yuris Indonesia berusaha mengangkat derajat keilmuan hukum dengan mengembangkan aspek empiris dari ilmu hukum melalui kajian-kajian yang sosiologik. Hal ini menyebabkan terjadinya berbagai kerancauan dalam usaha pengembangan ilmu hukum, dimana yuris Indonesia kehilangan kepribadiannya dan pembangunan hukum melalui pembentukan hukum tidak ditangani secara tepat dan professional. Usaha menghidupkan aspek empiris dari ilmu hukum diantaranya dilakukan dengan menerapkan metode-metode penelitian sosial dalam kajian hukum selain tetap mempergunakan kajian normatif itu sendiri.
Menetapkan metode penelitian hukum dalam cakupan yang lebih luas (pengkajian ilmu hukum), seharusnya beranjak dari hakikat keilmuan hukum, bukan dari sudut pandang ilmu sosial.
Ilmu hukum memiliki berbagai istilah, rechtswetenschap atau rechtstheorie dalam bahasa Belanda, jurisprudence atau legal science dalam bahasa Inggris, dan jurisprudent dalam bahasa Jerman. Dalam kepustakaan Indonesia tidak tajam dalam penggunaan istilah. Istilah ilmu hukum di Indonesia disejajarkan dengan istilah-istilah dalam bahasa asing tersebut. Misalnya, istilah Rechwetenschap oleh Jan Gijssels dan Mark van Hoecke diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai Jurisprudence. Apabila diterjemahkan secara harfiah Rechwetenschap berarti Science of Law. Istilah itu dihindari karena istilah science dapat diidentikkan dengan kajian yang bersifat empiris. Kenyataannya, hukum adalah kajian yang lebih bersifat normatif.
Ilmu hukum dalam perkembangannya, selalu diperdebatkan keabsahannya sebagai ilmu, baik oleh ilmuwan bidang sosial maupun ilmuwan yang berkecimpung di bidang hukum sendiri. Sifat dari ilmu hukum yang sedemikian rupa menyebabkan ilmu hukum disebut sebagai ilmu dengan karakteristik “Sui Generis”. Sui Generis berasal dari ungkapan Latin, yang secara harfiah diartikan dari jenisnya atau genusnya sendiri. Di bidang hukum istilah sui generis digunakan untuk menyebut jenis jenis aturan hukum yang dibuat secara khusus untuk mengatur suatu hal yang bersifat spesifik atau unik. Kata sui generis ini sering digunakan dalam analisis filsafat untuk menunjukkan ide, entitas, atau suatu realitas yang tidak dapat dimasukkan dalam konsep yang lebih luas. Ilmu hukum sebagai ilmu sui generis dapat di telaah menjadi 4 hal yaitu karakter normatif ilmu hukum, terminologi ilmu hukum, jenis ilmu hukum, dan lapisan ilmu hukum.
Karakter Normatif Ilmu Hukum
Ilmu hukum memiliki karakter yang khas, yaitu sifatnya yang normatif. Ciri yang demikian menyebabkan sementara kalangan yang tidak memahami kepribadian ilmu hukum itu dan meragukan hakekat keilmuan hukum. Keraguan itu disebabkan karena dengan sifat yang normatif ilmu hukum bukanlah ilmu empiris. Memang harus diakui bahwa di sisi lain yuris Indonesia berusaha mengangkat derajat keilmuan hukum dengan mengembangkan aspek empiris dari ilmu hukum melalui kajian-kajian yang sosiologik. Hal ini menyebabkan terjadinya berbagai kerancauan dalam usaha pengembangan ilmu hukum, dimana yuris Indonesia kehilangan kepribadiannya dan pembangunan hukum melalui pembentukan hukum tidak ditangani secara tepat dan professional. Usaha menghidupkan aspek empiris dari ilmu hukum diantaranya dilakukan dengan menerapkan metode-metode penelitian sosial dalam kajian hukum selain tetap mempergunakan kajian normatif itu sendiri.
Menetapkan metode penelitian hukum dalam cakupan yang lebih luas (pengkajian ilmu hukum), seharusnya beranjak dari hakikat keilmuan hukum, bukan dari sudut pandang ilmu sosial.
Terminologi Ilmu Hukum
Ilmu hukum memiliki berbagai istilah, rechtswetenschap atau rechtstheorie dalam bahasa Belanda, jurisprudence atau legal science dalam bahasa Inggris, dan jurisprudent dalam bahasa Jerman. Dalam kepustakaan Indonesia tidak tajam dalam penggunaan istilah. Istilah ilmu hukum di Indonesia disejajarkan dengan istilah-istilah dalam bahasa asing tersebut. Misalnya, istilah Rechwetenschap oleh Jan Gijssels dan Mark van Hoecke diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai Jurisprudence. Apabila diterjemahkan secara harfiah Rechwetenschap berarti Science of Law. Istilah itu dihindari karena istilah science dapat diidentikkan dengan kajian yang bersifat empiris. Kenyataannya, hukum adalah kajian yang lebih bersifat normatif.
Jenis Ilmu Hukum
Dari segi obyeknya, ilmu hukum dibedakan atas:- Ilmu Hukum Normatif
- Ilmu Hukum Empiris
Lapisan Ilmu Hukum
Ilmu hukum memiliki karakter yang khas, yaitu sifatnya yang normatif. Ciri yang demikian menyebabkan sementara kalangan yang tidak memahami kepribadian ilmu hukum itu dan meragukan hakekat keilmuan hukum. Keraguan itu disebabkan karena dengan sifat yang normatif ilmu hukum bukanlah ilmu empiris. Memang harus diakui bahwa di sisi lain yuris Indonesia berusaha mengangkat derajat keilmuan hukum dengan mengembangkan aspek empiris dari ilmu hukum melalui kajian-kajian yang sosiologik. Hal ini menyebabkan terjadinya berbagai kerancauan dalam usaha pengembangan ilmu hukum, dimana yuris Indonesia kehilangan kepribadiannya dan pembangunan hukum melalui pembentukan hukum tidak ditangani secara tepat dan professional. Usaha menghidupkan aspek empiris dari ilmu hukum diantaranya dilakukan dengan menerapkan metode-metode penelitian sosial dalam kajian hukum selain tetap mempergunakan kajian normatif itu sendiri. Kajian hukum diempiriska antara lain dengan merumuskan format-format penelitian hukum yang dilatarbelakangi oleh metode penelitian ilmu social yang notabene adalah penelitian empiris. Sehingga ditemukan kejanggalan-kejanggalan dengan memaksa format penelitian ilmu social dalam penelitian hukum normatif diantaranya:- Perumusan masalah dengan kata bagaimana, seberapa jauh, dan lain-lain;
- Sumber data, teknik pengumpulan data, dan analisis data;
- Populasi dan sampling
- Dogmatik hukum;
- Teori hukum (dalam arti sempit); dan
- Filsafat hukum.
I. Teori Hukum (dalam arti sempit)
Teori Hukum dalam lingkungan berbahasa Inggris, disebut dengan jurisprudence ataulegal theory. Teori Hukum lahir sebagai kelanjutan atau pengganti allgemeine rechtslehre yang timbul pada abad ke-19 ketika minat pada filsafat hukum mengalami kelesuan karena dipandang terlalu abstrak, spekulatif dan dogmatis. Istilah Allgemeine rechtslehre ini mulai tergeser oleh istilah rechtstheorie yang diartikan sebagai teori dari hukum posisif yang mempelajari masalah-masalah umum yang sama pada pada semua sistem hukum. Adapun masalah-masalah umum tersebut meliputi: sifat, hubungan antara hukum dan negara serta hukum dan masyarakat.
Sehubungan dengan ruang lingkup dan fungsinya, teori hukum diartikan sebagai ilmu yang dalam perspektif interdisipliner dan eksternal secara kritis menganalisis berbagai aspek gejala hukum, baik dalam konsepsi teoritisnya maupun dalam kaitan keseluruhan, baik dalam konsepsi teoritis maupun manifestasi praktis. Tujuannya adalah untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dan memberikan penjelasan sejernih mungkin tentang bahan hukum yang tersaji dan kegiatan yuridis dalam kenyataan masyarakat. Teori hukum merupakan ilmu eksplanasi hukum yang sifatnya inter-disipliner. Eksplanasi dalam teori hukum sifatnya eksplanasi analisis sedangkan dalam dogmatika hukum merupakan eksplanasi teknik yuridis dan dalam bidang filsafat sebagai eksplanasi reflektif. Sifat interdisipliner dapat terjadi melalui dua cara: pertama, menggunakan hasil disiplin lain untuk eksplanasi hukum; kedua, dengan metode sendiri meneliti bidang-bidang seperti: sejarah hukum, sosiologi hukum dan lainnya.
II. Praktek Hukum (Penerapan dan Pembentukan Hukum)
Ilmu hukum dipandang sebagai ilmu, baik dari sudut pandangan positivistik maupun sudut pandangan normatif. Dogmatika hukum, teori hukum, dan filsafat hukum pada akhirnya harus diarahkan kepada praktek hukum. Praktek hukum menyangkut 2 (dua) aspek utama, yaitu pembentukan hukum dan penerapan hukum.
1. Penerapan Hukum
Menerapkan hukum berarti memberlakukan peraturan yang sifatnya umum ke dalam suatu kasus yang sifatnya konkret. Dalam ungkapan klasik disebur De rechter is bounche de la loi, yang mengandung arti kiasan hakim adalah corong atau alat undang-undang. Hal ini melukiskan betapa beratnya tugas hakim yang harus mampu menangkap maksud pembuat undang-undang. Berdasarkan beban tugas hakim itu, peran penemuan hukum merupakan tugaas yang harus dilakukan dengan interpretasi besar dalam menentukan isi atau maksud hukum tertulis. Roscoe Pound menjelaskan langkah penerapan hukum menjadi 3 bagian, yaitu:- Menemukan hukum, artinya menetapkan pilihan di antara sekian banyak hukum yang sesuai dengan perkara yang akan diperiksa oleh hakim;
- Menafsirkan kaidah hukum dari hukum yang telah dipilih sesuai dengan makna ketika kaidah itu dibentuk; dan
- Menerapkan kaidah yang telah ditemukan dan ditafsirkan kepada perkara yang akan diputuskan oleh hakim
2. Pembentukan Hukum
Permasalahan penerapan hukum antara lain mengenai: interpretasi hukum, kekosongan hukum, antinomi dan norma yang kabur. Interpretasi hukum lahir dari kesulitan hakim pada waktu memahami maksud pembuat undang-undang, selain itu dalam kaitannya dengan usaha menemukan hukum. Artinya hukum harus ditemukan dan apabila tidak berhasil menemukan hukum tertulis, hukum harus dicari dari hukum yang hidup dalam masyarakat, yaitu berupa pembentukan hukum oleh hakim. Arti penting interpretasi merujuk pada sarana untuk mengatur daya kelenturan peraturan perundang-undangan dapat pula terjadi pada hukum yang dibuat oleh pembuat perundang-undangan.
Kesimpulan
Ilmu hukum dalam perkembangannya, selalu diperdebatkan keabsahannya sebagai ilmu, baik oleh ilmuwan bidang sosial maupun ilmuwan yang berkecimpung di bidang hukum sendiri. Sifat dari ilmu hukum yang sedemikian rupa menyebabkan ilmu hukum disebut sebagai ilmu dengan karakteristik “Sui Generis”. Sui Generis berasal dari ungkapan Latin, yang secara harfiah diartikan dari jenisnya atau genusnya sendiri. Di bidang hukum istilah sui generis digunakan untuk menyebut jenis jenis aturan hukum yang dibuat secara khusus untuk mengatur suatu hal yang bersifat spesifik atau unik. Kata sui generis ini sering digunakan dalam analisis filsafat untuk menunjukkan ide, entitas, atau suatu realitas yang tidak dapat dimasukkan dalam konsep yang lebih luas. Ilmu hukum sebagai ilmu sui generis dapat di telaah menjadi 4 hal yaitu karakter normatif ilmu hukum, terminologi ilmu hukum, jenis ilmu hukum, dan lapisan ilmu hukum.
Melihat dari segi obyeknya ilmu hukum dibedakan atas Ilmu hukum normatif serta Ilmu hukum empiris. Tiap lapisan ilmu hukum memiliki karakteristik khusus mengenai konsep eksplanasi dan sifat atau hakikat keilmuannya. Namun demikian, Ilmu hukum diterima sebagai ilmu dengan tetap menghormati karakter keilmuan ilmu hukum, hendaknya mengempiriskan segi-segi normatif ilmu hukum dan sebaliknya jangan menormatifkan segi-segi empiris dalam penelitian hukum. Dalam kajian normatif sebaliknya berpegang pada tradisi keilmuan hukum itu sendiri, sedangkan dalam kajian ilmu hukum empiris sebaiknya digunakan metode-metode penelitian empiris yang sesuai.
Melihat dari segi obyeknya ilmu hukum dibedakan atas Ilmu hukum normatif serta Ilmu hukum empiris. Tiap lapisan ilmu hukum memiliki karakteristik khusus mengenai konsep eksplanasi dan sifat atau hakikat keilmuannya. Namun demikian, Ilmu hukum diterima sebagai ilmu dengan tetap menghormati karakter keilmuan ilmu hukum, hendaknya mengempiriskan segi-segi normatif ilmu hukum dan sebaliknya jangan menormatifkan segi-segi empiris dalam penelitian hukum. Dalam kajian normatif sebaliknya berpegang pada tradisi keilmuan hukum itu sendiri, sedangkan dalam kajian ilmu hukum empiris sebaiknya digunakan metode-metode penelitian empiris yang sesuai.
Daftar Bacaan
Baca Juga
DISCLAIMER:
Konten dari tulisan ini adalah milik mahasiswa yang bersangkutan. Segala sesuatu berkaitan dengan isi tulisan sepenuhnya menjadi otoritas mahasiswa. Penayangan pada website ini juga telah melalui persetujuan dari pihak yang bersangkutan.
KOMENTAR